Sepeda Tanpa Rem

Pada pagi hari yang kurang lebih menunjukkan pukul 08.00 WIB tepatnya disebuah parkiran. Padangan mata ini tertuju kepada seorang anak laki-laki yang sedang mengerem sepeda menggunakan kedua kaki yang beralaskan sendal. Laju sepeda memang lumayan cepat ditambah tempat mengerem anak tersebut adalah sebuah jalan menurun. Saking fokus melihat anak tersebut sampai-sampai jari jemari yang sedang memegang kunci yang masih berada di lubang jok motor pun belum tercabut dari posisinya.
Foto oleh Tatiana Syrikova dari Pexels

Ada suatu hal ingatan yang tiba-tiba terlintas dipikiran ketika mengalami kejadian di pagi hari tersebut. Melihat kondisi sepeda anak tersebut yang tidak ada rem sama sekali membuat ingatan masa kecil kembali hadir. Dahulu bagi sebagian anak-anak hadirnya rem di sepeda membuat tampilan sepeda kurang aesthetic di pandang. Ini bukan pendapat mutlak tetapi ketika waktu kecil dulu banyak sekali sepeda teman yang memang tidak ada remnya. Tentu namanya anak-anak tidak lepas dari yang namanya ikut-ikutan seperti teman yang lain. Akhirnya membuat diri ini melakukan tindakan untuk mencopoti rem yang ada di sepeda.

Harapan tinggi punya sepeda yang tidak ada remnya namun yang ada malah menerima amarah dari orangtua. "Karena selain tindakan mencopot rem dianggap merusak sepeda juga sangat membahayakan jika sepeda tidak mempunyai rem," ucap orangtua disertai dengan nada tinggi. Namanya anak kecil yang tidak dituruti kemauannya pasti akan mengeluarkan jurus mutung. Alih-alih akan dituruti setelah mengeluarkan jurus tersebut malah yang ada tambah di marahi. double porsi deh pokoknya

Jujur, namanya dulu masih kecil dilarang begini begitu ibarat seperti dipenjara dalam pikiran sendiri. Kalau boleh diibaratkan anak-anak memang seperti sepeda tanpa rem juga yang maunya selalu dituruti. Tapi ketika di umur yang sudah menginjak kepala dua dan sudah menapaki rumah tangga ternyata baru merasakan sendiri bagaimana rasa khawatir dan rasa was-was. Rasa itu seolah timbul tiba-tiba dibarengi dengan pertanyaan sederhana di kepala, "kok sepedanya gak punya rem yak sampe pake kaki, orangtuanya khawatir gak dengan kondisi sepeda anaknya yang begitu". Walaupun yang dilihat bukan anak sendiri tapi seolah mengisyaratkan bahwa naluri orangtua pada dasarnya selalu melindungi anaknya atau selalu mengantisipasi anaknya dari hal-hal yang membahayakan. 

Dan terakhir yang perlu dipahami bahwa segala nasihat, tindakan ataupun perbuatan yang orangtua lakukan kepada kita selaku anak memang bukanlah bentuk larangan yang mutlak. Karena anak juga perlu didengar terlebih dahulu dan jangan lagsung orangtua yang sepihak memutuskan. Bukan juga saling mempertahankan pendapat sehingga yang ada malah saling meninggikan suara dalam komunikasi. 

Ngobrolnya dengan duduk santai, pelan-pelan obrolannya, lalu saling mendengarkan dahulu kan enak pasti.







Related Posts

Post a Comment