Gamer Toxic Bagi Anak-Anak

Pagi menjelang siang saya dikagetkan dengan kedatangan anak-anak yang tertarik dengan kondisi android saya. Karena posisi android saya landscape atau bahasa gampange tiduran. Saya sudah menduga bahwa mereka mengira saya sedang memainkan salah satu game tembak-tembakan yang masih sangat digandrungi pada jaman ini. Padahal saya sedang mengedit sebuah video.

Dengan raut wajah yang polos mereka menanyakan apa yang sedang saya lakukan. Lalu setelah itu saya pun bertanya balik kepada mereka;

"dirumah main game? gamenya apa?"
"main game free fire"
"loh emangnya boleh main hp? gak dimarah orang tua?"
"enggak"

Sebuah tarikan nafas panjang dan kemudian saya hembuskan keluar bersamaan dengan perginya mereka dari ruangan yang saya tempati. Lalu ada pikiran kecil mencoba menyusup lalu hinggap kedalam sela-sela pikiran. 

"Sekarang anak-anak sekolah dasar kelas 1 sudah kenal beberapa game-game android" 

Dulu waktu ponakan masih dibangku sekolah dasar kelas 4 sudah kenal game android genre Moba. Sebelum moba beredar memang dulu sempat booming game Clash of Clans aka COC namun game-game semacam itu menurut saya belum terlalu membahayakan. Walaupun game pasti memiliki efek kecanduan bagi yang memainkannya namun menurut saya yang paling membahayakan dan susah mengontrol adalah gamer toxic.

Toxic disini yang saya dapat dari beberapa sumber merupakan plesetan dari kata Talk Shit. Menurut Jurnal Linda Apriliya Sugiono tidak ada penjelesan secara baku mengenai toxic, namun secara umum toxic adalah perilaku yang dapat merusak kenyamanan orang lain secara disengaja. Dalam pengertian toxic berbeda-beda, toxic berasal dari bahasa inggris berarti racun. Kalau didalam game kata toxic lebih ditujukan kepada gamer yang bertindak toxic yang merusak permainan didalam game tersebut. 

Perilaku toxic didalam game memang banyak dari Feeder, tukang ngasih kill gratis, AFK (away from keyboard), tidak paham role hero maupun meta dan yang paling membahayakan adalah gamer-gamer yang berkata kotor alias gamer toxic. Tidak dipungkiri juga saya pernah menjadi player toxic dan pernah mengalami perlakuan toxic juga dari player yang lain. Karena di dunia game yang online multiplayer orang cenderung akan lebih mudah emosi dibanding orang bermain game offline. Karena menyangut masalah rank atau winrate hero yang mana kalau ada gamer yang berulah bisa rusak pencapaian gamer tersebut.

Okelah kalau untuk orang yang sudah dewasa mungkin bisa untuk mengatur emosi atau paling tidak tidak tau lah bahasa-bahasa seperti bod*h, gob**k itu bukan sembarang kata yang dapat diucapkan. Lah kalau ada anak-anak baru belajar game tersebut lalu main dan melakukan tindakan yang merugikan tim dikarenakan ketidaktauannya. Bisa-bisa anak tersebut ada 2 kemungkinan yang akan terjadi. Pertama anak akan menangis karena mendapat umpatan dan yang kedua malah bisa jadi anak tersebut akan mendapat kosakata baru yang belum mereka mengerti. Kemudian keluarlah kata itu ketika misal kumpul dengan orang tua maupun sedang bertamu. 

Walaupun pasti pendapat ini bukan mutlak untuk semua orang. Namun yang jelas saya bisa berpendapat seperti karena mengalami dan melihat perubahan ketika bermain game dengan ponakan. Ketika masih sekolah dasar dan ketika dia masuk sekolah menengah pertama. Dulu kalau kami sedang bermain lalu ada player yang chat in game kata-kata yang kotor. Ponakan saya aka selalu bilang, "Om itu heromu dipanggil sama orang" tapi beberapa bulan ini sejak ponakan saya sudah masuk sekolah menengah pertama sering sekali dia menginap karena ketika disini bisa main game sampai malam dan sering lah terdengar kata-kata toxic. Padahal dulu dia itu tidak banyak tanya kalau ketemu gamer toxic

Bagi saya tidak masalah mau anak-anak main game, toh banyak gamer juga yang masih di umur belia sukses menjadi proplayer dan punya penghasilan besar. Tapi bagi anak yang baru mau main atau ada anak yang cuman ikut-ikutan temannya main game lalu ketemu gamer toxic. Siap-siaplah mereka akan menirukan dan disini orang tua juga harus memiliki peran untuk mengetahui lingkungan game anaknya itu seperti apa. Supaya tidak kagetan nanti ketika anaknya punya kosakata baru dapat langsung tau salah satu sumbernya dari mana.











Related Posts

Post a Comment