Ibarat sedang makan apel, apel tersebut tidak ada sisanya sama sekali. Padahal yang saya pahami apel itu bagian dalamnya kurang enak untuk dinikmati. Cenderung memiliki tekstur keras dan agak berasa pahit.
Kurang lebih begitu dalamnya lika-liku bangku perkuliahan yang belum lama disudahi. Apel yang manis dan empuk digigitan awal merupakan penggambaran sebuah kehidupan awal dimasa kuliah. Sedangkan bagian dalamnya atau biasa saya sebut sebagai bonggol adalah bagian pahitnya. Semua orang yang kuliah pasti akan merasakan manisnya gigitan apel pertama dan rasa pahit ketika sudah mendekati bonggol apel tersebut.
Namun bagi sebagian orang termasuk saya adalah orang yang harus dituntut untuk menghabiskan bonggol dan beserta bijinya tanpa ada sisa sedikitpun. Biji ini memang kecil namun jika tidak dikunyah bisa merepotkan ketika masuk kedalam sela-sela gigi. Biji yang walau terbilang kecil merupakan penggambaran kalimat seperti, '"bimbingannya sampai bab berapa, kapan sidang, kapan wisuda atau kapan lulus? Kalimat ini memang sangat sepele namun ketika dulu saya menerima kalimat ini ibarat sebuah biji yang nyelip disela-sela gigi. Memang kecil namun jika tidak bisa mengatasi masalah kecil ini dapat memicu gejolak emosi yang bisa sampai ubun-ubun.
Lika-liku makan apel sebenarnya sudah tiga kali saya ceritakan pada postingan Graduation, Wis-Udah dan Nak, Jangan Contoh Bapakmu Ini, Kesemua cerita ini punya titik beratnya masing-masing atau paling tepat menyebutnya sebagai alasan-alasan kenapa saya lulusnya telat. Memang tidak ada alasan yang dapat sangat dimaklumi bagi orang yang telat lulus dalam kuliahnya. Mau beralasan dosennya susah, judul skripsinya susah, atau menyalahkan masalah refrensi bukunya sedikit. Semua alasan ini pasti dapat dipatahkan dengan argumen-argumen yang lain. Apalagi keluarga tidak serta merta langsung menerima atau memaklumi alasan yang diungkapkan.
Di dalam circle yang lain juga banyak pengaruh bahkan saya sendiri mengalami sebuah fase dimana teman saya sendiri yang awalnya intens menanyakan masalah bimbingan. Akhirnya sampai pada fase diam karena pasti lama kelamaan sudah malas. Ditambah kadang saya sampai menaikan nada ketika teman menanyakan hal mengenai bimbingan. Pada fase ini saya juga sudah menemukan penawar letih yang sampai detik ketika menulis ini masih tidak menyangka-nyangka bisa bertemu dengannya. Dalam perjalanan akhir makan apel ini doi adalah orang yang paling cerewet. Jangan mengira kami ini selalu baik-baik saja atau terkesan selalu bucin melulu. Tak jarang banyak pertengkaran hebat juga yang terjadi karena hal seperti disatu sisi doi selalu mengingatkan untuk kudu dan harus segera diselesaikan. Namun disisi lain saya pun terlalu mengedepankan ego yang mana masalah yang sedang saya hadapi harus dimaklumi juga.
Kadang kala tak mengapa untuk tak baik-baik saja. Lirik lagu ini mampir ditelinga saya ketika sampai pada tulisan ini. Seolah mengisyaratkan bahwa keadaan yang belum baik adalah suatu hal yang tidak mengapa dalam hidup ini. Pahitnya bonggol apel atau rasa tidak enak makan biji apel merupakan sebuah hal yang bukan buruk juga. Malah pengalaman ini dapat menjadi bahan cerita kepada orang yang tidak sampai pada fase makan apel sampe bonggolnya terus ditambah makan bijinya.
Post a Comment
Post a Comment